DIPLOMASI.CO.ID (LAMPUNG ) – Selama tiga bulan terakhir, Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Polda Lampung berhasil mengungkap 7 kasus praktik destructive fishing atau penangkapan ikan dengan cara merusak di wilayah perairan Provinsi Lampung. Tindakan tegas ini dilakukan demi menjaga kelestarian laut dan melindungi kehidupan nelayan lokal dari praktik ilegal yang merugikan.
Direktur Polairud Polda Lampung, Kombes Pol Bobby Paludin Tambunan, menyampaikan bahwa praktik-praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem laut serta keselamatan manusia.
“Kami fokus pada empat jenis pelanggaran utama, yaitu penggunaan bom ikan, setrum, bahan kimia berbahaya, dan jaring troll ilegal. Semua ini berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat pesisir,” ujar Kombes Bobby dalam konferensi pers di Bandar Lampung, Jumat (25/4/2025).
Dalam periode 24 Februari hingga 24 April 2025, total 10 pelaku diamankan. Kasus yang diungkap meliputi:
3 kasus penggunaan bahan peledak (bom ikan),
1 kasus penangkapan ikan dengan setrum,
2 kasus penggunaan bahan kimia,
dan 4 kasus jaring troll ilegal.
Dari para pelaku, polisi menyita barang bukti berupa dua kapal, 24 detonator, 2,25 kilogram bahan peledak, mesin dinamo, dan dua jaring troll.
Modus operandi yang digunakan pelaku semakin canggih dan berbahaya. Salah satunya adalah penggunaan sistem transaksi tunai (COD) untuk memperoleh bahan peledak, serta melibatkan anak-anak sebagai kurir demi menghindari deteksi petugas.
“Anak-anak dimanfaatkan untuk mengantarkan bahan peledak. Ini sangat memprihatinkan dan membahayakan masa depan mereka,” tegas Kombes Bobby.
Kasus setrum juga mengalami perkembangan, di mana pelaku kini menggunakan genset yang disambungkan ke dinamo inverter guna menghasilkan tegangan tinggi yang membahayakan ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi habitat berbagai biota.
Penggunaan jaring troll juga dimodifikasi dengan ukuran mata jaring sangat kecil, hanya 0,5 inci, sehingga ikut menangkap ikan-ikan kecil yang belum layak panen. Salah satu pelaku diketahui berasal dari luar provinsi, yakni Jambi, dan melakukan penangkapan ilegal di perairan Lampung.
“Praktik ini tidak hanya merusak ekosistem laut, tapi juga berpotensi memicu konflik antara nelayan lokal dan nelayan luar daerah,” ungkapnya.
Kerugian ekologis akibat destructive fishing sangat besar. Selain mengancam kelangsungan hidup biota laut, kerusakan habitat seperti terumbu karang berdampak langsung terhadap ketahanan pangan laut. Polda Lampung memperkirakan kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp9,3 miliar.
Polda Lampung berkomitmen terus menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan demi menjaga laut sebagai sumber kehidupan dan keberlanjutan generasi mendatang. (*)